M. IDRUS RAMLI.
BINA ASWAJA & LBM NU Jember
12,5 x 18,5 cm. 177 hlm
Jual Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi | Toko Buku Muslim
Didalam buku pintar berdebat dengan Wahhabi yang ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli bersama LBM NU Jember, penggunaan istilah Wahhabi dan Salafi dipakai secara tumpang tindih. Padahal fokus utama buku tersebut adalah wahhabi.
1. Ngalap barokah
Dimulai dengan membahas sosok Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Sa'di dikenal Syaikh Ibnu Sa'di yang dikatakan sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem namum terkadang mudah insyaf dan mau menerima kebenaran. Seorang yang sangat alim dan pakar tafsir. Tafsirnya (Al Karim Al Rahman fi Tafsir Kalam Al Mannan) ada yang menyamai tafsir Al Jalalain dikalangan kaum Sunni. "Akan tetapi sayang, ideologi wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya."
Penulis telah menyimpulkan Syekh Ibnu Sa'di sebagai seorang wahhabi yang ekstrem, bukan kaum Sunni. Wahhabi bukan Sunni.
2. Allah maha suci
Menguraikan dialog seorang sunni dan seorang wahhabi, penulis tidak menjelaskan siapa yang berdialog tersebut.
Yang berikutnya dialog kisah Al-Imam Al-Hafizh Ahmad bin Al-Siddiq Al-Ghumari ("ulama Maroko dan wahhabi tunanetra") dengan tiga ulama terhebat wahhabi. Dari "wahhabi tunanetra" menjadi "tiga ulama terhebat wahhabi", apa ketiga ulama wahhabi tersebut tunanetra ? .
Apakah dialog ini memang terjadi atau hanya khayalan semata. Wallahu a'lam.
Juga ada kisah Syaikh Al-Sanqithi dan wahhabi tunanetra, dimana wahhabi tunanetra kalah debat dengan Syaikh Al-Sanqithi masalah majaz dalam Al-Qur'an. Wahhabi tidak mengakui majaz dalam Al Qur'an.
Selanjutnya masalah ta'wil, di awal tulisan membahas kaum wahhabi tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Di tengah tulisan ketika membahas masalah debat dengan seorang Salafi, penulis menyamakan Wahhabi dengan Salafi ("Wahhabi atau Salafi"). Wahhabi=Salafi
3. Bid'ah Hasanah
Penulis membanding pengertian 2 hadist berikut :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
dengan menafsirkan "suatu amalan kebaikan" sebagai bid'ah hasanah yang belum pernah ada di jaman Rasulullah dan belum pernah di contohkan.
1. Ngalap barokah
Dimulai dengan membahas sosok Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Sa'di dikenal Syaikh Ibnu Sa'di yang dikatakan sebagai ulama Wahhabi yang ekstrem namum terkadang mudah insyaf dan mau menerima kebenaran. Seorang yang sangat alim dan pakar tafsir. Tafsirnya (Al Karim Al Rahman fi Tafsir Kalam Al Mannan) ada yang menyamai tafsir Al Jalalain dikalangan kaum Sunni. "Akan tetapi sayang, ideologi wahhabi yang diikutinya berpengaruh terhadap paradigma pemikiran beliau. Aroma Wahhabi sangat kental dengan tafsir yang ditulisnya."
Penulis telah menyimpulkan Syekh Ibnu Sa'di sebagai seorang wahhabi yang ekstrem, bukan kaum Sunni. Wahhabi bukan Sunni.
2. Allah maha suci
Menguraikan dialog seorang sunni dan seorang wahhabi, penulis tidak menjelaskan siapa yang berdialog tersebut.
Yang berikutnya dialog kisah Al-Imam Al-Hafizh Ahmad bin Al-Siddiq Al-Ghumari ("ulama Maroko dan wahhabi tunanetra") dengan tiga ulama terhebat wahhabi. Dari "wahhabi tunanetra" menjadi "tiga ulama terhebat wahhabi", apa ketiga ulama wahhabi tersebut tunanetra ? .
Apakah dialog ini memang terjadi atau hanya khayalan semata. Wallahu a'lam.
Juga ada kisah Syaikh Al-Sanqithi dan wahhabi tunanetra, dimana wahhabi tunanetra kalah debat dengan Syaikh Al-Sanqithi masalah majaz dalam Al-Qur'an. Wahhabi tidak mengakui majaz dalam Al Qur'an.
Selanjutnya masalah ta'wil, di awal tulisan membahas kaum wahhabi tidak memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Di tengah tulisan ketika membahas masalah debat dengan seorang Salafi, penulis menyamakan Wahhabi dengan Salafi ("Wahhabi atau Salafi"). Wahhabi=Salafi
3. Bid'ah Hasanah
Penulis membanding pengertian 2 hadist berikut :
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim no. 1017)
dengan menafsirkan "suatu amalan kebaikan" sebagai bid'ah hasanah yang belum pernah ada di jaman Rasulullah dan belum pernah di contohkan.
Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi bisa Anda dapatkan di
Toko Buku Muslim | Hub. 0896.2580.1256 | 0852.3161.2096
Jangan lupa kunjungi juga buku kami : Buku Tata cara Berkhitan, Aqiqah, Kurban
Toko Buku Muslim | Hub. 0896.2580.1256 | 0852.3161.2096
Jangan lupa kunjungi juga buku kami : Buku Tata cara Berkhitan, Aqiqah, Kurban
Posting Komentar